Surat Untuk Ado
Cerpen Putu Oka Sukanta (Kompas,
28 Agustus 2016)
Surat untuk Ado ilustrasi Bunga
Jeruk
Ado, ini surat aku tulis sepulang
dari rumahmu. Engkau telah membawa aku ke kawah kerinduan yang luka. Sisa
langit kelam, desing letupan di telinga, petir cambuk api seolah tersimpan di
pembuluh darah halus bola matamu yang liar seperti ketika engkau menarikan tari
Baris Bali. Tidak hanya itu Ado, aku masih sempoyongan ketika meninggalkan
rumahmu, sebab pukulan kata-katamu yang mengentak di pangkal sanubari. Engkau
dengan ringan tanpa perasaan bersalah apalagi berdosa membuka obrolan kita
dengan ucapanmu, “Saya sengaja melupakannya. Terlalu berat untuk dibawa-bawa
terus. Mengingat terus masa lalu seperti dililit spiral kawat berdurinya
sejarah. Saya mau membebaskan langkah untuk kehidupan yang lebih baik.” Dan
engkau mengarahkan mukamu ke arahku seolah menantang.
“Ayo kamu mau bilang apa?”
Kita berempat terdiam. Mamimu
menatap tajam ke arahmu, mungkin terkejut dan kecewa berat atas sikapmu itu.
Sebab kita semua tahu, masa lalu, bagi mamimu adalah makanan lezat tapi getir
yang selalu dihidangkan untuk menghidupkan semangat berjuang dan ketahanan
hidupnya. Sedangkan Ila temanku yang duduk di sampingku, menghentikan penanya
dan matanya menagih pernyataanmu yang lebih rinci.
“Mungkin cara itu, secara
psikologis, membebaskan saya untuk berani tampil tanpa sedikitpun merasa punya
masalah. Lu suka boleh berteman, lu gak suka, itu urusan lu. Itu prinsip saya.”
Engkau menutup pernyataanmu dengan tertawa lepas, renyah pecah berderai,
suaramu mengusir kegamangan. Pancaran cahaya wajahmu berbinar.
Di dalam mobil ketika pulang
meninggalkan rumahmu, aku dan Ila tidak bisa keluar dari pusaran pertemuan dan
obrolan kita. Kami tertawa bersama mengingat munculnya teman sekolahmu sewaktu
SMP dari kamar makan, yang tiba-tiba saja nimbrung mengungkapkan perasaannya
seperti tanpa kendali ketika menceritakan demonstrasi yang membakar gedung PKI.
Dia berdiri bersama banyak orang di depan rumahnya di Jalan Kramat Raya di
dekat kantor CC PKI di awal bulan Oktober 65, lima puluh tahun yang lalu.
Tetapi dia juga menceritakan kegembiraannya menonton parade seni, drumband, dan
gemuruh lagu Nasakom di hari-hari sebelumnya. Dia yang usianya sudah 60 tahun,
masih seperti anak SMP, ABG yang riang pecicilan, suaranya lepas. “Siapa itu
Ado?”
Perempuan kurus dengan rambut
disasak itu, seperti Ado juga, tanpa beban, tanpa risih dan tanpa perlu minta
permisi kepada kami sebagai tamu Ado yang belum dikenalnya, nyerocos menyeret
kita ke masa yang justru Ado ingin lupakan.
“Ingat, kan, lu, si Andre yang
mengejek lu di sekolah?” cetusnya.
“Ya, hanya dia. Lantas gue labrak
dia. Nyahok dia. Gue bilang ame dia, Papi gue di penjara bukan karena maling,
bukan rampok. Papi gue tahanan politik. Tapi ketika teman lain nanya, di mana
papi gue, dengan enteng dan pede gue bilang, papi keluar negeri. Ada urusan apa
dia dengan papi gue.”
Kami tertawa.
“Lantas lu pindah sekolah.”
“Gue dah gak nyaman. Gue bilang sama
mami. Dia yang ngatur.” Mukanya diangkat mengarah ke maminya. Senyum nyengir.
“Lu, kan, sering pindah-pindah
sekolah.”
“Mami yang ngatur. Tau gak lu,
ketika gue di SMA, kepala sekolah sangat pengertian. Hanya dia yang tahu kalau
papi gue ditahan. Setiap mau bezuk papi ke penjara Salemba, gue minta izin. Keesokan
harinya, zuster kepala menanyakan bagaimana keadaan papi. Dia sayang sama gue.
Namanya siapa mami?”
Maminya memijit-mijit dahi mengingat
nama zuster kepala sekolah yang dimaksud. Lantas menyahut, “Ado, nama itu tidak
terlalu penting diingat, yang diingat adalah suara hati dan perbuatannya.”
Ila menggeleng-gelengkan kepala
mengetahui ketabahanmu menghadapi militer yang menempati separo rumahmu. Engkau
tidak acuh, tidak menunjukkan ketakutan, dan bertahun-tahun bertahan untuk
tidak berkomunikasi dengan tentara itu. “Oma mengajarkan untuk berani karena
benar. Mami melarang aku berkomunikasi. Perampok tidak patut diajak ngomong.”
Ado, sebab aku menulis surat ini,
adalah karena rasa kangen kehidupan di rumahmu yang lama. Di Jalan Tjidurian
itu. Engkau bilang masih ingat dengan penyair, musikus, dan pelukis yang
tunarungu itu, yang membuat lukisanmu dengan apik. Waktu itu Ado masih di Taman
Kanak-kanak Melati yang digelar di halaman samping rumahmu. Ceritamu seperti
pancuran di gentong yang membolak-balik air di dalam gentong itu sendiri.
Engkau menuturkan bagaimana engkau diajak papimu ke percetakan surat kabar di
daerah Pintu Besar di daerah kota, dan sesampainya di rumah papimu
mencorat-coret setumpukan koran yang tadi diambilnya di percetakan. Engkau telah
memancing kegelisahanku. Apalagi ketika engkau menceritakan bagaimana engkau
membuat komitmen dengan pacarmu tentang papimu yang masih di Buru dan
keluargamu. Aku tidak ingat persis kata-katamu, tetapi bukankah seperti ini?
“Ferdi, kamu udah tahu, kan, papiku itu siapa? Papi begini, begini, begini. Dan
gue juga sudah tahu orangtuamu siapa.”
“Ya. Lantas kenapa?” Ferdi menjawab
dingin.
“Gue gak mau, ya, nanti kalau papiku
pulang atau kenapa-kenapa, keluarga lu menjelek-jelekkan papi atau keluarga
gue.”
“Gak lah” Ferdi dingin.
“Janji ya.”
“Iya.”
“Nanti kalau gue tahu,
terang-terangan atau lewat orang lain, menjelek-jelekkan papiku, akan kulabrak.
Tidak peduli orangtua lu atau yang lainnya.”
“Gak mungkinlah.” Ferdi tetap
tenang.
Ado matamu berbinar-binar meneruskan
cerita, bahwa ketika papimu dibebaskan dari Pulau Buru, orangtua Ferdi dan
saudara-saudaranya, pamannya, semua ikut menyambut papimu. Engkau berdesah
seperti meyakinkan dirimu sendiri, sambil mengusap embun di ujung matamu, “Saya
merindukan papi empat belas tahun.” Kita semua terdiam membisu di ruangan
tempat kita ngobrol. Tidak seseorang dari kami yang memandangmu. Kami memandang
diri kami masing-masing, bagaikan di depan sebuah cermin.
Tetapi, alangkah terkejutnya aku,
ketika engkau meneruskan cerita, bahwa engkau tidak paham mengapa papimu begitu
getol berbagi kepada orang lain, bahkan engkau bilang papimu keterlaluan, naif,
rumah tidak pernah kosong dari tamu bermacam-macam dan harus selalu menyediakan
keperluan mereka. Papimu sampai ngutang demi orang lain, sehingga suatu hari
datang tukang tagih sangar bertubuh gempal mengancam papimu. Juga engkau
menceritakan bahwa papimu sering membuat engkau sakit hati dan menangis.
Dengan suara parau engkau meneruskan
cerita bahwa dengan tega papimu memberikan boneka kesayanganmu kepada anak
teman papimu tanpa minta izinmu. Juga engkau bercerita tentang patung bali yang
antik, kesayangan mamimu dan Ado, sehingga ketika dalam hidup sangat sulit pun,
patung itu masih engkau pertahankan untuk tidak dijual. Tetapi, papimu dengan
enteng tanpa minta pertimbangan engkau dan mamimu, memberikan patung kepada
tamu dari Belanda yang sampai sekarang tidak pernah berhubungan satu kali pun
sesudah menggondol patung itu.
Aku kira cuma itu, perbuatan papimu
yang melukai hati. Ternyata masih ada yang lain, sampai-sampai engkau tiga
bulan tidak menegurnya. Engkau menangis sesudah menceritakan hal itu, perkara
papimu tidak memenuhi janji akan mengantar engkau dan anakmu ke dokter, hanya
karena ada tamu tak diundang akan diantarnya pulang.
“Saya merindukan papi empat belas
tahun. Sesudah pulang kok begitu. Kok lebih mementingkan orang lain? Saya
benci. Tiga bulan saya tidak menegurnya. Sejak peristiwa itu papi berubah,
memberi perhatian dan menyediakan waktu untuk kami. Walaupun begitu, saya
bilang kepada papi dan mami, saya tidak mau mengikuti cara hidupnya. Saya tidak
mau terlibat di dalam kegiatan bisnisnya yang hancur-hancuran. Saya mau
menentukan sendiri cara hidup saya.”
Ado, mendengarkan ceritamu semua
tadi, aku jadi kangen dengan papimu. Aku memang tidak selalu seia sekata dengan
si Bung. Juga tidak pernah meminta pertimbangannya kalau aku mau melakukan
sesuatu kegiatan. Tetapi, aku selalu mendengarkan kritiknya. Mungkin karena itu
aku tidak pernah membencinya. Seperti pada hari Imlek yang lalu lewat engkau
aku menitipkan salam kepada si Bung yang mungkin pulang menengok anak cucunya.
Ado, mendengarkan ceritamu ternyata
engkau tidak melupakan masa lalumu, engkau hanya menyimpannya dengan baik,
rapi, tidak sampai diketahui orang lain dan terhindar dari serangan rayap.
Sekali waktu engkau membukanya dan menghidupkannya, menghirup kekuatannya.
Salam hangat buat engkau dalam
persahabatan yang tidak tergerus warna rambut. *
Post a Comment